NewsPemerintahan dan Politik

Haji 2021 Batal, Ini Penjelasan Gus Yaqut

Channeltujuh.com, JAKARTA –Menteri Agama Republik Indonesia (Menag RI), Yaqut Cholil Qoumas, memastikan bahwa pemerintah tidak memberangkatkan jemaah haji Indonesia 1442 Hijriah/2021 Masehi.  Menurutnya, di tengah pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19) yang malanda dunia, kesehatan, dan keselamatan jiwa jemaah lebih utama dan harus dikedepankan.

“Karena masih pandemi dan demi keselamatan jemaah, Pemerintah Indonesia memutuskan bahwa tahun ini tidak memberangkatkan kembali jemaah haji,” tegas Gus Yaqut, dalam telekonferensi dengan media di Jakarta, Kamis (3/6/21).

Hadir juga, Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Yandri Susanto, serta sejumlah perwakilan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu RI), Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Kemenhub RI), Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Asosiasi Penyelenggara Haji dan Umrah, Forum Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah, serta perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ormas Islam lainnya.

“Saya hari ini telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 660 tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 Hijriah/2021 Masehi,” Gus Yaqut, sapaan akrab Yaqut Cholil Qoumas.

Gus Yaqut, menegaskan keputusan ini sudah melalui kajian mendalam. Kementerian Agama (Kemenag) sudah melakukan pembahasan dengan Komisi VIII DPR pada 2 Juni 2021. Mencermati keselamatan jemaah haji, aspek teknis persiapan, dan kebijakan yang diambil oleh otoritas pemerintah Arab Saudi, Komisi VIII DPR dalam simpulan rapat kerja tersebut juga menyampaikan menghormati keputusan yang akan diambil pemerintah.

“Komisi VIII DPR dan Kemenag, bersama unsur terkait lainnya akan bersinergi untuk melakukan sosialisasi dan komunikasi publik yang baik dan masif mengenai kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji 1442 Hijriah/2021 Masehi,” tutur Gus Yaqut.

Kemenag, jelas Gus Yaqut, juga telah melakukan serangkaian kajian bersama Kemenkes RI, Kemenlu RI, Kemenhub RI, dan lembaga terkait lainnya.

“Semalam, kami juga sudah menggelar pertemuan virtual dengan MUI dan ormas-ormas Islam untuk membahas kebijakan ini. Alhamdulillah, semua memahami bahwa dalam kondisi pandemi, keselamatan jiwa jemaah harus diutamakan. Ormas Islam juga akan ikut mensosialisasikan kebijakan ini untuk kepentingan jemaah. Atas dukungan Komisi VIII, dan juga ormas Islam, saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya,” ujar Gus Yaqut.

Pemerintah menilai bahwa pandemi Covid-19 yang masih melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia dan Arab Saudi, dapat mengancam keselamatan jemaah. Apalagi, jumlah kasus baru Covid-19 di Indonesia dan sebagian negara lain dalam sepekan terakhir masih belum menunjukan penurunan yang signifikan.

Kasus harian di Indonesia dari tanggal 26 hingga 31 Mei 2021 misalnya, rata-rata masih di atas 5.000. Ada sedikit penurunan pada 1 Juni 2021, tapi masih di angka 4.824. Sementara kasus harian di 11 negara pengirim jemaah terbesar per 1 Juni juga relatif masih tinggi dengan data sebagai berikut, Arab Saudi (1.251), Indonesia (4.824), India (132.788), Pakistan (1.843), Bangladesh (1.765), Nigeria (16), Iran (10.687), Turki (7.112), Mesir (956), Irak (4.170), dan Aljazair (305).

Untuk negara tetangga Indonesia, tertinggi kasus hariannya per 1 Juni 2021 adalah Malaysia (7.105), disusul Filipina (5.166), dan Thailand (2.230). Singapura, meski kasus harian pada awal Juni 2021 adalah 18, namun sudah memutuskan tidak memberangkatkan jemaah haji, sementara Malaysia memberlakukan lockdown.

Menurut Gus Yaqut, agama mengajarkan bahwa menjaga jiwa adalah kewajiban yang harus diutamakan. Undang-Undang No 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah juga memberikan amanah kepada pemerintah untuk melaksanakan tugas perlindungan. Karenanya, faktor kesehatan, keselamatan, dan keamanan jemaah menjadi faktor utama.

“Ini semua menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan kebijakan. Apalagi, tahun ini juga ada penyebaran varian baru Covid-19 yang berkembang di sejumlah negara. Penyelenggaraan haji merupakan kegiatan yang melibatkan banyak orang yang berpotensi menyebabkan kerumunan dan peningkatan kasus baru Covid-19,” jelas Gus Yaqut.

Di sisi lain, pemerintah Arab Saudi, kata Gus Yaqut, sampai hari ini yang bertepatan dengan 22 Syawal 1442 Hijriah, juga belum mengundang Pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani nota kesepahaman tentang Persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 Hijriah/2021 Masehi.

“Ini bahkan tidak hanya Indonesia, tapi semua negara. Jadi sampai saat ini belum ada negara yang mendapat kuota, karena penandatanganan nota kesepahaman memang belum dilakukan,” tegas Gus Yaqut.

Kondisi ini berdampak pada persiapan penyelenggaraan ibadah haji. Sebab, berbagai persiapan yang sudah dilakukan, belum dapat difinalisasi. Untuk layanan dalam negeri, misalnya kontrak penerbangan, pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH), penyiapan dokumen perjalanan, penyiapan petugas, dan pelaksanaan bimbingan manasik, semuanya baru bisa diselesaikan apabila besaran kuota haji sudah diterima dari Arab Saudi.

Demikian pula penyiapan layanan di Arab Saudi, baik akomodasi, konsumsi, maupun transportasi, belum bisa difinalisasi karena belum ada kepastian besaran kuota, termasuk juga skema penerapan protokol kesehatan haji, dan lainnya.

“Itu semua biasanya diatur dan disepakati dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara negara pengirim jemaah haji dengan Arab Saudi. Nah, MoU tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 Hijriah/2021 Masehi, itu hingga hari ini belum juga dilakukan. Padahal, dengan kuota 5 persen dari kuota normal saja, waktu penyiapan yang dibutuhkan tidak kurang dari 45 hari,” terang Gus Yaqut.

Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah dampak dari penerapan protokol kesehatan yang diberlakukan secara ketat oleh Arab Saudi karena situasi pandemi. Pembatasan itu bahkan termasuk dalam pelaksanaan ibadah.

Berkaca pada penyelenggaraan umrah awal tahun ini, lanjut Gus Yaqut, pembatasan itu antara lain larangan salat di Hijir Ismail dan berdoa di sekitar Multazam. Shaf saat mendirikan salat juga diatur berjarak. Ada juga pembatasan untuk salat jemaah, baik di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

“Pembatasan masa tinggal juga akan berdampak, utamanya pada penyelenggaraan Arbain. Karena masa tinggal di Madinah hanya tiga hari, maka dipastikan jemaah tidak bisa menjalani ibadah Arbain,” terang Gus Yaqut.

Gus Yaqut menambahkan pembatalan keberangkatan jemaah ini berlaku untuk seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) baik dengan kuota haji Indonesia maupun kuota haji lainnya. Jemaah haji, reguler dan haji khusus, yang telah melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) tahun 1441 Hijriah/2020 Masehi, akan menjadi jemaah haji pada penyelenggaraan ibadah haji 1443 Hijriah/2022 Masehi.

“Setoran pelunasan BPIH dapat diminta kembali oleh jemaah haji yang bersangkutan. Jadi uang jemaah aman. Dana haji aman. Indonesia juga tidak punya utang atau tagihan yang belum dibayar terkait haji. Info soal tagihan yang belum dibayar itu bohong (hoax),” kata Gus Yaqut.

Gus Yaqut menyampaikan simpati kepada seluruh jemaah haji yang terdampak pandemi Covid-19 tahun ini. Untuk memudahkan akses informasi masyarakat, selain Siskohat, Kemenag juga telah menyiapkan posko komunikasi di Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Kemenag juga tengah menyiapkan WhatsApp (WA) Center yang akan dirilis dalam waktu dekat.

“Keputusan ini pahit. Tapi inilah yang terbaik. Semoga ujian Covid-19 ini segera usai,” tukas Gus Yaqut mengakhiri.*/

 

Laporan : Devi Lahendra

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button